Beberapa waktu belakang ini agak kurang mengikuti perkembangan politik tanah air, jadi ketika pagi ini membuka The Jakarta Post salah satu headlinesnya cukup menarik minatku “What does PRIBUMI really means?” Wah… ada apa ini?
Jujurnya aku sangat tidak mengharapkan kata berterminologi rasis ini akan menjadi headlines untuk menggambarkan keadaan politik Indonesia.
Ternyata ini bermula dari Inauguration Speech Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta periode baru yang menyebutkan kata “pribumi” dalam pidatonya. Beberapa lini media masa cukup heboh dengan hal ini. Gak percaya? coba saja tuliskan kalimat pribumi dalam pencarian google sekarang.
Sebelum berkomentar lebih jauh, yuk mari baca terlebih dahulu secara lengkap Inauguration Speech yang bikin heboh ini disini Klik atau mau nonton videonya langsung di youtube ya.
First impression, in my humble opinion, maybe some people putting away to much attention to the “pribumi” part of his speech. I’m afraid we’re missing the whole point of the speech
Mendys
Tapi, sejenak kita renungkan kata “pribumi” memang lebih banyak mengirimkan sinyal negatif, yang seharusnya bisa di gantikan dengan kata yang lebih layak. Apalagi kalau menengok kebelakang betapa sengitnya isu rasis menjadi perdebatan baik didunia nyata maupun dunia maya. Jangan menyiram api dalam kobaran api yang telah menyala.
Berani bertaruh, pidato ini pastilah digodok dan dibuat oleh tim pilihan dengan ramuan berbagai macam ide, kiasan, ungkapan ideologis bukan kalimat – kalimat meracau asal sebut abang – abang habis ngelem. Jadi agak disayangkan, kata bertendensius seperti ini dipilih ketika banyak kata persamaan di KBBI yang bisa lebih mewakilkan maksud tanpa menghilangkan arti yang ingin disampaikan.
Mari kita petik paragaf kontroverial dalam Inauguration Speech tersebut:
“… Dulu kita semua pribumi ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami. “
Aku memang bukan ahli bahasa Indonesia, bahkan mungkin tulisan ini akan dikritik abis – abisan oleh para penggiat EYD. Tapi boleh lah aku ingin berpendapat dan merubah sedikit paragraf tersebut.
Dulu kita semua ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.
atau
Dulu kita, Bangsa Indonesia ditindas dan dikalahkan. Kini telah merdeka, kini saatnya menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang dituliskan pepatah Madura. Itik telor, ayam singerimi. Itik yang bertelor, ayam yang mengerami.
Aku merasa penggunaan “Bangsa Indonesia” lebih tepat untuk mendefinisikan rasa KE-KITA-AN, apalagi pidato ini memuat banyak sekali kutipan-kutipan dari berbagai macam daerah yang menyiratkan bahwa begitu banyak keberagaman di Jakarta. Kontradiktif sekali dengan pemilihan kata “PRIBUMI” dengan rasa BHINEKA TUNGGAL IKA yang diusung.
Mungkin bagi BAPAK dan TIM kalimat “Bangsa Indonesia” terlalu tinggi kelasnya untuk diucapkan oleh seorang Gubernur. Akhirnya dengan embel – embel “membumi” dipilih lah kata pribumi. Biasa, kan orang Indonesia memiliki kebudayaan untuk merendah. MUNGKIN!
Aku pernah memiliki suatu pengalaman kurang menyenangkan dengan kata “Pribumi” dan sempat membuatku bertanya Kepada siapa sebenarnya Pribumi ditujukan? Pernahkah kalian berpikir yang sama?
Dulu aku menjadi golongan minoritas sewaktu SMA, ada sekelompok orang menyebutku dan teman – temanku sebagai “genk pribumi”.
Aku pikir dulu label pribumi ini ditujukan karena kami tidak serupa fisik dengan mereka. Tapi ada temanku yang serupa secara fisik kena label ini, ada yang tidak serupa secara fisik tetapi pada saat itu “berpunya” justru tidak kena label ini. Akhirnya aku mengambil kesimpulan ini mengenai klasifikasi sosial, entah dari segi materi atau penampilan, label itu mereka ucapkan kepada orang – orang yang menurut mereka ada “dibawah” mereka.
Gak heran sih. Sejarahnya, kata pribumi memang diciptakan oleh bangsa kolonial untuk merujuk kelompok asli nusantara pada saat itu sebagai bentuk diskriminasi sosial dalam piramida.
In 1854, the Dutch coined the term pribumi for its three-tiered racial classification, using it to describe Indonesians and placing them below European and Foreign Oriental races, such as the Chinese, Arabs and Indians.
Meminjam istilah Ariel Heryanto dalam tulisannya, orang dibuat menjadi ‘Cina’, ‘Arab’, atau ‘Indo’ oleh kekuasaan politik kolonial. Masing-masing etnis dibatasi ruang geraknya, profesinya, hukum yang melindunginya, partisipasi politiknya, bahasa, kebudayaan, pasangan, bahkan hingga potongan rambutnya.
Jadi, Siapa yang layak disebut Pribumi?
KBBI : Pribumi/pri·bu·mi/ n penghuni asli; yang berasal dari tempat yang bersangkutan;
Siapa penghuni asli? Bagaimana pengklasifikasiannya? Ras? Agama? Lama Tinggal?
Ok, mari kita bahas satu persatu.
Berdasarkan lama tinggal aku mereferensi kepada Penduduk dan Warga Negara dalam Undang – Undang 1945.
Bunyi Pasal 26 ayat 1 Yang menjadi warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara.
Bunyi Pasal 26 ayat 2 Penduduk ialah warga negara Indonesia dan orang asing yang tempat tinggal di Indonesia.
Syarat-syarat menjadi warga negara Indonesia tercantum dalam UU No. 12 Th. 2006 Pasal 9 salah satu ayatnya berbunyi :
“… sudah bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 (lima) tahun berturut-turut atau paling singkat 10 (sepuluh) tahun tidak berturut-turut.”
Berdasarkan ras, menurut lembaga Pemetaan DNA dari Lembaga Eijkman dalam penelitian The Peopling of Indonesia Archipelago menunjukkan tak ada etnis sepenuhnya murni asli penghuni nusantara sejak ribuan tahun lalu. Indonesia merupakan persilangan jembatan antara Asia dan Pasifik.
Gelombang migrasi ke Indonesia datang 50-60 ribu tahun lalu dari sub-Sahara Benua Afrika, yang kemudian bergerak ke bagian timur [Indonesia] menyusuri pantai selatan. Gelombang kedua merupakan ekspansi Astronesia dari daerah Taiwan, dan satu gelombang migrasi lainnya datang, dari Dataran Tiongkok 30 ribu tahun lalu. Rentetan migrasi tersebutlah yang mempengaruhi asal-usul ras penghuni kepulauan di wilayah Indonesia. Imbasnya kini terlihat dari ujung barat hingga timur Indonesia, terdapat perbedaan ras yang kemunculannya terjadi bertahap.
Untuk lebih jelasnya kalian bisa lihat hasil penelitiannya disini,
Bagaimana berdasarkan AGAMA? Oh.. C’mon.. dari lima agama yang diakui di Indonesia coba sebutkan agama mana yang berasal dari Indonesia?
Jadi sebenarnya kepada siapa kata pribumi ditujukan?
Sumpah Pemuda mencetuskan BANGSA dan pasal 26 UUD 45 menggunakan WARGA NEGARA untuk merujuk rakyat yang berada dalam kesatuan wilayah Indonesia. Semua itikad untuk menghancurkan strata sosial yang dulu pernah di tanamkan kolonial bahwa pribumi adalah DASAR/AKAR kelas sosial (referensi KBBI PRI : Akar/Dasar) sayang disayangkan malah dipakai kembali dalam konteks kenegaraan oleh seorang birokrat.
BAPAK dan Tim should have known better. The word “pribumi” is used, not only in “anti-colonialism” sentiments now. Even they said it’s reffer to historic meaning. It was such an unwise move.
Were BAPAK dan Tim unaware about the implication of that word? Was they trying to “normalize” the meaning of “pribumi”? Or did they do it intentionally?
Again, I believe BAPAK should have known better what I means.
Mendys
Anywy kembali lagi, kekeliruan pemilihan diksi oleh orang yang dijadikan panutan akan lebih besar impactnya, mungkin bisa jadi pembelajaran kedepannya. Bukankah masalah AHOK kemarin belum cukup?
Daripada ribut saling menyakiti, mari sekarang kita lebih fokus untuk mengawal pemerintahan daripada debat kusir, mari kita juga bekerja untuk negara ini dengan porsinya masing – masing daripada saling nyinyir dan gagal move on. Kita tidak tahu ada invisible hand seperti apa yang menginginkan kita menghilangkan rasa BHINEKA TUNGGAL IKA luhur kita, mungkin politik devide et impera sekarang berubah wujud menjadi dogma berbalut rohani yang notabene lebih mudah dicerna kaum malas baca. Siapa Tau.
Cheers 💕,
Mendys
Tulisan ini adalah wujud kegelisahan yang berusaha disampaikan untuk memberikan perspektif dari orang awam saya secara pribadi mengingat dijaminnya kebebasan dalam menyampaikan pendapat melalui tulisan seperti yang disebutkan dalam Pasal 28 UUD 1945. Tulisan ini sebisa mungkin didukung dengan referensi valid yang bisa diakses selama anda memiliki kuota dan kemauan untuk MEMBACA SECARA UTUH tanpa terpotong-potong kecuali disebutkan lain tanpa menghilangkan makna sesungguhnya. Sekali lagi tulisan ini adalah pendapat pribadi, jika terdapat perbedaan, SILAHKAN MENULIS SENDIRI DI PLATFORM YANG ANDA PUNYA.
Tinggalkan Balasan