“It’s easy to talk big, but the important thing is whether or not you clean up the shit.”- Haruki Murakami
Jonathan, Temanku, pernah berkata kalau memiliki banyak sosial media kita akan diperlihatkan berbagai jenis karakter orang. Ada kelebihannya, yaitu kita bisa mulai memilih – milih mana orang yang membawa kebaikan. Selain itu kekurangannya kita akan disuguhkan berbabagai macam ujaran yang membuat kita bisa menjadi pribadi yang labil kalau tidak memiliki karakter kuat.
Paham? Aku sih gak pada awalnya. Agak sulit mencerna, tapi semakin beriringnya waktu aku mulai memahami. Dikesempatan lain jo juga pernah berkata:
“Jangan membuat ujaran (read : status) yang membuat kita menyesal dikemudian hari. Pikirkan lagi apa hal tersebut membawa manfaat. Memang betul socmed adalah hak mu untuk berkekspresi. Tapi pilihlah dengan bentuk yang baik” #JomuridBuddha
Setelah lama berkecimpung didalam dunia maya, beberapa bulan ini aku sadar ada yang salah dengan media sosialku. Bukan dengan status – status absurd yang biasanya aku posting ya, tapi beredarnya status – status yang kurang bijak dan mengarah kepada hal – hal berbau negatif. Apalagi ditambah dengan pemberitaan politik yang lagi gencar – gencarnya. Semua orang tetiba menjadi ahli politik, negarawan, dan sebagainya. Hal ini cukup membuat gelisah adinda kakak! #okeskip
Dari kejadian – kejadian ini bisa diambil kesimpulan bahwa Status Media Sosial Juga Harusnya di ikuti dengan kecerdasan Emosional dan Intelektual personalnya.
Belum tentu orang yang berpendidikan tinggi memiliki kecerdasan emosional. Pun, orang yang memiliki kecerdasan emosional belum tentu memiliki kecerdasan secara intelektual yang mumpuni.
Jadi bisa saja orang yang kita lihat bagus secara akademik mencetuskan kalimat2 tidak cerdas. Emosinya meledak, persis seperti pecutan karapan sapi. Mungkin niatnya baik, tapi disalurkan dengan cara yang kurang elegan.
Orang yang memiliki kecerdasan secara emosional tetapi tidak dibungkus dengan intelektual yang baik, bisa saja menyampaikan sesuatu yang tidak mengena bahkan tidak nyambung, Ya hampir mirip-mirip dengan pantun jaka sembung bawa golok lah.
Jadi bagaimana orang tau mereka berniat baik?
Aku gak akan membahas level dibawah ini ya, level kecerdasan emosional dan intelektualnya masih so so. Bukannya sok mengkategorikan tingkat kecerdasan seseorang, tapi alangkah baiknya kita sebagai personal memiliki kemauan untuk meningkatkan kemampuan biar ga cepet kemakan isi HOAX. Bisa dilihat dari orang2 yang suka copy, paste, send tanpa liat kredibilitas dan relevansi isi informasi. Sekali dua kali bisa dimaklumi, mgkn dalam kondisi semangat juang jadi lupa cek n ricek. Tapi kalo dah lebih dari 3, hmm… #jawabsendiri
Aku hanya akan membahas orang-orang yang mayoritas berada disekitar kita. Orang – orang yang sebenarnya jalannya udah ada tapi masih nabrak – nabrak pembatas busway 😀
“No matter what we talk about, we are talking about ourselves”- HUGH
Sekarang lagi jamannya semua di komentarin, apa aja! Tapi sadarkah kita semakin banyak komentar yang kita ucapkan, semakin menunjukan siapa diri kita?
Memang tidak ada salahnya menunjukkan diri kita pada dunia, tapi kita memiliki pilihan untuk menunjukkan “siapa diri kita” dengan cara yang intelek! Loh udah sekolah capek – capek, ngerjain skripsi jungkir balik masa gak mau terlihat intelek. Paling gak kelihatan dulu intelek deh, sisanya menyusul 😀
Kebebasan berpendapat yang dijamin undang – undang jangan membuat kita merusak diri kita sendiri.
Berkumpulah dengan orang – orang yang mau berdiskusi, bahasa kecenya “Brainstorming”
Jangan berghibah aja depang gang buk!
Nyari nya dimana?
Berproses lah, ga seinstan masuk group facebook.
Loh bukannya group itu dibuat untuk forum diskusi?
Benar, tapi gak semua orang didalam group tersebut memberikan informasi kredibel, dan mau didebat. Di sentil dikit udah mencak2. Lah yang begini left aja. Buang2 denyutan otak. Lagian sekali – kali lah berdiskusi dengan orang secara nyata. Karena kalo dari media online bisa aja dia copas2 gtu. Kalo secara real, setidaknya dia berbicara dengan apa yang dmiliki diotaknya saat itu. Dan itu ada effort loh untuk mengingat akumulasi bacaan! Walo kita gak tau itu beneran apa hoax.
Perjalanan menemukan orang-orang yang bisa diajak berdiskusi secara sehat itu beneran gak mudah lo, ditambah lagi dengan banyak nya informasi2 bias yang diyakininya sebagai berita haqqul yakin. Bahkan ketika aku dan teman – teman sedang berdiskusi, bahkan kami kelihatan seperti orang – orang yang saling tidak percaya. Ah masa? Tau dari mana? Trus langsung sambil browser2 infonya. Tapi tidak juga dari mereka memaksa kan suatu pendapat. Semua kembali kepada personalnya.
Nah jadi ketika kita mau mengeluarkan pendapat atau beropini di media sosial yang kita punya, setidak nya tidak berupa hateful speech! Setidaknya sudah pendapat/opini kita telah berakumulasi dengan rangkaian debat, membaca, keterbukaan sudut pandang, dan hal lain yang mampu membuat kita menjadi orang yang mampu menebar sesuatu yang bermanfaat.
Buatlah Opini/Pendapat/Tulisan yang walau dibaca dari kubu yang bersebrangan dan tidak diterima secara perasaan, tetapi secara logika bisa dimaafkan.
Kalo gak bisa?
Gak usah nulis yang aneh2 deh ya! Bebas tentu juga ada batasan. Biasakan berikan batasan dalam tulisan juga. Caranya mudah koq, niatkan dalam hati bahwa Hal yang kita lakukan akan membawa kebaikan. ;D
“Did your mom ever tell you, ‘If you can’t say something nice, don’t say anything’? She was right–and talking nicely also applies when you’re talking to yourself, even inside your head.- Victoria Moran
So, bagaimana level pembuat HOAX? Wah ini sih sebenarnya EQ dan IQ nya udah te o pe! Tapi ya itu tadi udah dijalan tol masih aja mau nabrakin diri ke pembatas busway. Padahalkan busway ga ada dijalan tol :’) #hayatilelah
Cheers ,
Mendys

Kembali lagi, tulisan ini hanya sedikit kegundahgulanaan melihat status – status dimedia online, yang kebetulan dari orang – orang dikenal yang bikin agak berdenyut – denyut. Mungkin juga tulisan ini tidak bisa diterima oleh pembaca karena telalu filfasat dan berat bagi otak – otak yang kurang berdenyut. Tidak ada unsur pemaksaan, tapi kembali lagi kepada niat untuk saling meingatkan biar gak malu2in banget dan mengurangi keinginan untuk menyebar berita2 yang bertendensius negatif.
Tinggalkan Balasan